KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT INDONESIA
ANALISIS DATA SUSENAS
1999-2005
1Mewa Ariani
1Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
ABSTRACT
FOOD CONSUMPTION PATTERN IN INDONESIA
ANALYSIS OF SUSENAS DATA
1999-2005
Keywords:
consumption, food, SUSENAS
PENDAHULUAN
I
|
ndonesia
telah menyatakan komitmen untuk melaksanakan aksi mengatasi kelaparan,
kekurangan gizi serta kemiskinan di dunia. Dalam Millenium Development Goals
(MDGs), ditegaskan untuk mengurangi angka kemiskinan ekstrim dan kerawanan
pangan di dunia sampai setengahnya di tahun 2015. Ketahanan pangan yang
dibangun di Indonesia ,
disamping sebagai prasyarat untuk memenuhi hak azasi pangan masyarakat juga
merupakan pilar bagi eksistensi dan kedaulatan suatu bangsa(1).
Pembangunan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan diarahkan untuk
menopang kekuatan ekonomi domestik sehingga mampu menyediakan pangan yang cukup
secara berkelanjutan bagi seluruh penduduk terutama dari produksi dalam negeri,
dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman dan terjangkau dari waktu ke waktu.
Indonesia
dalam pemenuhan konsumsi masyarakat menghadapi tantangan cukup besar karena
jumlah penduduknya yang cukup besar. Pada tahun 2005, jumlah penduduk Indonesia
diperkirakan sebesar 222 juta jiwa dan terus bertambah dari tahun ke tahun.
Laju pertumbuhan penduduk saat ini adalah 1,4 persen per tahun yang berarti
setiap tahun bertambah sekitar 3 juta orang(2).
Dalam upaya pemantapan ketahanan pangan masyarakat, pemerintah melalui Badan
Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian sejak tahun 2002 mengembang-kan tujuh
model pemberdayaan di kabupaten/ kota di seluruh propinsi. Adapun model
pemberdayaan ketahanan pangan tersebut adalah: 1) Lumbung pangan, 2) Sistem
tunda jual, 3) Pangan lokal, 4) Pemanfaatan pekarangan, 5) Daerah rawan pangan,
6) Participatory integrated development
in rainfed areas (PIDRA) dan 7) Special
program for food security(3).
Selain upaya di atas, pemerintah juga terus memulihkan perekonomian
masyarakat melalui berbagai kebijakan
makro dan mikro yang pelaksanaannya dilakukan oleh berbagai departemen. Tulisan
ini bertujuan untuk menilai bagaimana perkembangan konsumsi pangan masyarakat
paska krisis ekonomi, sebagai bahan perumusan kebijakan pangan dalam upaya
peningkatan ketahanan pangan masa mendatang.
BAHAN
DAN CARA
Data yang digunakan untuk menganalisis konsumsi
pangan masyarakat di Indonesia bersumber
dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun
1999, 2002, 2003, 2004 dan 2005 yang
pengumpulannya dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. Selain pengelompokan jenis
pangan, dalam analisis juga dilakukan pengelompokan rumahtangga menurut wilayah
untuk memperkaya pembahasan. Pola konsumsi pangan pokok dianalisis berdasarkan
pangsa energi dari masing-masing pangan (beras, jagung, terigu, ubikayu, ubijalar,
sagu, dan umbi lainnya) terhadap total energi dari pangan tersebut. Analisis
dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan tabel-tabel.
HASIL DAN BAHASAN
Konsumsi Energi dan Protein
Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dapat
digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga
keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, dan
sosial ekonomi secara terintegrasi. Bagaimana perkembangan konsumsi energi dan
protein di Indonesia dalam era reformasi dan paska krisis ekonomi disajikan pada
Tabel 1. Rata-rata konsumsi energi pada tahun 2005 sebesar 1996 kkal/kapita/hari
dan protein sebesar 55,2 gram/ kapita/hari.
Konsumsi ini mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun yang ditunjukkan dengan laju pertumbuhannya yang bertanda positip
walaupun besarannya masih kecil. Laju konsumsi energi pada periode 2002-2005 hanya
0,14 persen per tahun dan protein sebesar 0,46 persen per tahun. Besaran laju
konsumsi ini tampaknya mengikuti besaran laju ketersediaannya. Laju
ketersediaan energi tahun 2000-2004 sebesar 0,57 persen per tahun dan untuk protein
mengalami penurunan sebesar – 0,05 persen per tahun(1).
Apabila dipilah menurut wilayah, konsumsi energi
dan protein di kota justru menurun, sebaliknya di perdesaan menunjukkan
peningkatan. Fenomena ini diduga bukan karena faktor pendapatan, karena
pendapatan rumahtangga yang diproksi dengan pengeluarannya di kota lebih besar
daripada rumahtangga di desa, yaitu Rp. 319.220/ kapita/bulan di kota dan Rp.
171.435/kapita/ bulan di desa pada tahun 2004(4).
Penyebab penurunan tersebut diduga karena masih kurang akuratnya konversi
energi dan protein yang berasal dari makanan/ minuman jadi, mengingat jenis ini
sangat beragam antar wilayah. Padahal proporsi pengeluaran makanan/ minuman
jadi di kota lebih besar (23,9 %) dibandingkan dengan di desa (13,3 %).
Tabel 1
Perkembangan Konsumsi Energi dan Protein Menurut
Wilayah
Tahun
|
Energi (kkal/kap/hari)
|
Protein (Gram/kap/hari)
|
||||
Kota+Desa
|
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
Kota
|
Desa
|
|
1999
|
1851
|
1776
|
1880
|
48,7
|
49,3
|
48,2
|
2002
|
1986
|
1953
|
2011
|
54,1
|
56,0
|
53,2
|
2003
|
1991
|
1952
|
2018
|
55,4
|
56,8
|
54,4
|
2004
|
1986
|
1942
|
2018
|
54,6
|
55,9
|
53,6
|
2005
|
1996
|
1923
|
2060
|
55,2
|
55,3
|
55,3
|
Laju 2002-2005 (%/th)
|
0,14
|
-0,53
|
0,73
|
0,46
|
-0,54
|
1,01
|
Hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII
(WKNPG) tahun 2004, rata-rata tingkat
kecukupan konsumsi energi dan protein penduduk Indonesia masing-masing sebesar
2000 kkal/kapita/hari dan 52,0 gram/kapita/hari. Berdasarkan acuan tersebut,
konsumsi energi secara agregat mendekati tingkat kecukupan yang dianjurkan
(99,8 %), sedangkan untuk protein sudah melebihi dari yang dianjurkan sejak
tahun 2002. Perkembangan tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein masyarakat dapat dilihat
pada Gambar 1 dan 2.
Energi yang dikonsumsi oleh masyarakat masih
bertumpu pada pangan sumber karbohidrat terutama dari padi-padian. Pangsa dari
padi-padian mencapai lebih dari 60 persen. Walaupun pangsa tersebut menurun
dari tahun ke tahun, namun penurunannya sangat kecil seperti terlihat pada Tabel 2. Pangsa yang demikian besar, tidak
sesuai dengan pola pangan yang dituangkan dalam Pola Pangan Harapan (PPH), karena
dalam PPH pangsa energi dari kelompok padi-padian yang ideal adalah 50,0
persen.
Kajian di atas juga menunjukkan pola konsumsi
pangan yang demikian tidak hanya terjadi di perdesaan tetapi juga pada
masyarakat perkotaan yang tingkat pendapatannya masih memungkinkan untuk
melakukan pemilihan pangan sesuai dengan selera dan kaidah gizi. Pada tingkat
pendapatan yang terbatas, seseorang akan mengutamakan faktor kenyang (pemenuhan
karbohidrat) daripada faktor gizi, preferensi dan prestise. Pada masyarakat kota selain
faktor pendapatan, tingkat pendidikan dan kesadaran akan hidup sehat juga lebih
baik.
Namun kalau dicermati lebih jauh, secara rata-rata
pendapatan masyarakat kota juga masih
termasuk dalam kategori miskin apabila mengacu pada garis kemiskinan yang
ditetapkan oleh World Bank yaitu 2 $ per kapita/hari. Dengan pendapatan sekitar
Rp.319.000/kapita/bulan berarti baru sekitar 53,2 persen dari patokan di atas
(dengan asumsi 1$ = Rp.10.000).
Demikian pula kualitas protein yang dikonsumsi oleh
masyarakat masih rendah yang ditunjukkan dengan pangsa protein dari pangan
hewani rata-rata hanya sekitar 25 persen.
Idealnya, pangsa protein hewani minimal 50 persen dari total konsumsi
protein untuk mencapai kualitas sumber-daya
manusia yang baik dan mampu bersaing. Memang terjadi peningkatan pangsa protein hewani pada periode 2002-2005 (1,32 %/tahun di kota
dan 4,14 %/tahun di desa) seperti terlihat pada Gambar 3, namun peningkatan ini
masih harus dipacu lagi.
Dengan
keragaan konsumsi energi dan protein seperti diatas berkorelasi dengan kualitas
konsumsi pangan yang diukur dengan PPH. Nilai skor PPH belum mencapai 100,
walaupun cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari tahun 2002-2005,
rata-rata peningkatan skor di kota dan desa sebesar 2,46 persen per tahun. Kualitas
konsumsi pangan pada masyarakat kota pada periode tersebut menurun 0,12 persen,
sebaliknya di perdesaan meningkat 1,2 persen. Perkembangan kualitas konsumsi
pangan menurut PPH dapat dilihat pada Gambar 4.
Tabel 2
Pangsa Energi dari Beberapa
Kelompok Pangan Menurut Wilayah (%)
No.
|
Wilayah/
Kelompok Pangan
|
1999
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
1
|
Kota+Desa
|
|
|
|
|
|
|
-Padi-padian
|
67,0
|
63,1
|
62,9
|
62,8
|
62,1
|
|
-Umbi-umbian
|
3,7
|
3,5
|
3,3
|
3,9
|
3,7
|
|
-Kacang-kacangan
|
2,9
|
3,1
|
3.1
|
3,2
|
3,4
|
|
-Sayur+buah
|
3,8
|
3,9
|
4,5
|
4,4
|
4,7
|
2
|
Kota
|
|
|
|
|
|
|
-Padi-padian
|
64,6
|
60,2
|
60,7
|
61,1
|
60,6
|
|
-Umbi-umbian
|
2,4
|
2,5
|
2,2
|
2,1
|
2,3
|
|
-Kacang-kacangan
|
3,5
|
4,2
|
3,9
|
3,8
|
3,7
|
|
-Sayur+buah
|
3,8
|
4,3
|
4,7
|
4,4
|
4,6
|
3
|
Desa
|
|
|
|
|
|
|
-Padi-padian
|
68,3
|
64,7
|
64,6
|
64,2
|
63,3
|
|
-Umbi-umbian
|
4,5
|
4,2
|
4,2
|
5,1
|
4,8
|
|
-Kacang-kacangan
|
2,6
|
3,3
|
2,9
|
2,8
|
3,1
|
|
-Sayur+buah
|
3,8
|
4,1
|
4,6
|
4,4
|
4,7
|
Keterangan: Pangsa terhadap
total konsumsi energi
Konsumsi Pangan
Dalam bahasan konsumsi pangan dibedakan menurut
fungsinya seperti pangan sumber karbohidrat, pangan sumber protein dan sumber
lemak serta vitamin dan mineral.
Keragaan data konsumsi pangan ini sangat penting terutama bagi
pemerintah untuk dapat melakukan antisipasi dalam penyediaannya terutama
melalui pasokan dari produksi domestik. Komitmen
pemerintah dalam upaya perwujudkan ketahanan pangan, dilakukan dengan
meningkatkan kemandirian pangan dalam
pemenuhan kebutuhan pangan.
Konsumsi pangan sumber karbohidrat pada era
reformasi yaitu setelah tahun 2002 menunjukkan penurunan dibandingkan dengan
konsumsi tahun 1999. Hasil analisis yang
dilakukan oleh Sudaryanto,dkk (2000), proporsi dan nilai nominal pengeluaran
pangan pada waktu krisis ekonomi tinggi pada semua kelompok pendapatan
rumahtangga. Selanjutnya dikatakan selama krisis, penduduk mengkonsumsi beras
relatif konstan dalam jumlah dan menurun dalam kualitas. Konsumsi pangan yang
berkualitas tinggi seperti daging, susu, telur umumnya menurun(5).
Dampak pemulihan ekonomi terhadap konsumsi pangan
tergantung pada jenis pangannya.
Konsumsi pangan sumber karbohidrat
menunjukkan penurunan, sedangkan untuk pangan sumber protein, lemak dan
vitamin/ mineral menunjukkan kenaikan.
Hal ini dapat dilihat apabila membandingkan data konsumsi pangan pada
tahun 1999 sebagai masa krisis ekonomi dan data tahun 2002 sebagai situasi
pemulihan ekonomi.
Tingkat konsumsi beras menunjukkan penurunan dari
tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan bertanda negatif 2,80 persen per tahun
pada periode 2002-2005 (Tabel 3). Penurunan konsumsi beras lebih besar pada
masyarakat di kota daripada di desa. Walaupun tingkat konsumsi beras di
Indonesia menunjukkan penurunan, namun dibandingkan dengan negara Asia seperti
Thailand, India dan China masih lebih tinggi, apalagi dengan Jepang. Konsumsi
beras di Jepang hanya sekitar 60 kg/kapita/tahun, sedangkan di Thailand, China
dan India sekitar 100 kg/kapita/tahun(6).
Di antara sumber protein, daging ayam dan telur
banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena memang harga kedua komoditas ini lebih
murah dibandingkan dengan jenis pangan hewani lainnya seperti daging sapi dan
lainnya. Walaupun konsumsi pangan hewani
menunjukkan peningkatan dalam era reformasi ini, namun dibandingkan dengan
konsumsi pangan hewani di negara lain masih rendah. Konsumsi daging di Malaysia dan Filipina masing-masing mencapai
48 kg dan 18 kg/kapita/tahun. Konsumsi telur ayam per kapita per tahun di Indonesia 51 butir, sementara
di Malaysia mencapai 279 butir(7).
Konsumsi sayuran dan buah-buahan sebagai sumber
vitamin dan mineral juga meningkat namun peningkatan di kota sangat kecil tidak
sampai satu persen, padahal laju kenaikan konsumsi sayuran dan buah-buahan di
desa masing-masing sebesar 3,12 persen
dan 5,34 persen per tahun pada periode 2002-2005. Secara agregat tingkat
konsumsi sayuran dan buah-buahan masing-masing sebesar 50,8 kg dan 31,7
kg/kapita/tahun (Tabel 5). Lagi-lagi
konsumsi tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan rekomendasi FAO yaitu
masing-masing 75 kg/kapita/tahun(8).
Tabel 3
Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat Menurut Wilayah (Kg/kapita/tahun)
Wilayah/
Tahun
|
Beras
|
Jagung
|
Terigu
|
Ubikayu
|
Ubijalar
|
Gula pasir
|
Kota+Desa
|
|
|
|
|
|
|
1999
|
116,5
|
3,4
|
6,5
|
13,4
|
3,0
|
8,3
|
2002
|
114,5
|
3,4
|
8,5
|
12,8
|
2,8
|
9,2
|
2003
|
109,7
|
2,8
|
7,2
|
12,0
|
3,3
|
9,4
|
2004
|
107,0
|
3,2
|
7,7
|
15,1
|
5,4
|
9,3
|
2005
|
105,2
|
3,3
|
8,4
|
15,0
|
4,0
|
8,9
|
Laju 2002-2005 (%/th)
|
-2,80
|
1,25
|
0,25
|
7,07
|
14,71
|
-1,09
|
Kota
|
|
|
|
|
|
|
1999
|
112,7
|
0,5
|
8,9
|
7,0
|
0,6
|
8,7
|
2002
|
111,4
|
0,8
|
10,6
|
6,8
|
2,3
|
9,5
|
2003
|
113,1
|
0,6
|
8,7
|
6,5
|
2,2
|
9,6
|
2004
|
100,2
|
0,7
|
9,3
|
8,3
|
2,4
|
9,5
|
2005
|
97,0
|
0,5
|
9,9
|
9,6
|
1,8
|
9,1
|
Laju 2002-2005 (%/th)
|
-5,32
|
-12,31
|
-1,56
|
13,08
|
5,98
|
-1,38
|
Desa
|
|
|
|
|
|
|
1999
|
118,9
|
5,2
|
5,1
|
17,8
|
3,7
|
8,0
|
2002
|
118,8
|
5,6
|
6,7
|
17,3
|
3,3
|
9,0
|
2003
|
119,5
|
4,4
|
6,1
|
16,3
|
4,1
|
9,3
|
2004
|
112,1
|
5,1
|
6,5
|
19,8
|
7,7
|
9,1
|
2005
|
112,4
|
5,4
|
7,1
|
19,8
|
5,8
|
8,7
|
Laju 2002-2005 (%/th)
|
-2,30
|
0,20
|
2,42
|
6,01
|
21,24
|
-1,22
|
Tabel 4
Konsumsi Pangan Sumber Protein Menurut Wilayah (Kg/kapita/tahun)
Wilayah/
Tahun
|
Daging ruminansia
|
Daging unggas
|
Telur
|
Susu
|
Ikan
|
Kacang-kacangan
|
Kota+Desa
|
|
|
|
|
|
|
1999
|
1,3
|
1,9
|
3,5
|
0,8
|
14,1
|
6,8
|
2002
|
1,7
|
3,6
|
5,6
|
1,3
|
16,8
|
8,9
|
2003
|
1,8
|
4,2
|
5,4
|
1,2
|
18,8
|
8,3
|
2004
|
2,0
|
4,0
|
5,8
|
1,3
|
17,8
|
8,7
|
2005
|
1,8
|
4,1
|
6,1
|
1,4
|
18,6
|
9,3
|
Laju 2002-2005 (%/th)
|
2,73
|
3,27
|
3,32
|
3,08
|
2,44
|
1,82
|
Kota
|
|
|
|
|
|
|
1999
|
2,0
|
2,9
|
4,6
|
1,4
|
14,2
|
9,1
|
2002
|
2,5
|
5,5
|
7.1
|
2,2
|
17,6
|
10,1
|
2003
|
2,4
|
6,3
|
6,8
|
2,0
|
19,1
|
9,7
|
2004
|
2,9
|
5,6
|
7,3
|
2,1
|
18,5
|
10,1
|
2005
|
2,6
|
5,5
|
7,6
|
2,3
|
18,4
|
10,1
|
Laju 2002-2005 (%/th)
|
3,08
|
-1,22
|
2,78
|
1,86
|
0,98
|
0,40
|
Desa
|
|
|
|
|
|
|
1999
|
0,8
|
1,3
|
2,7
|
0,4
|
14,1
|
5,8
|
2002
|
0,9
|
2,2
|
4,3
|
0,6
|
16,5
|
7,9
|
2003
|
1,3
|
2,7
|
4,3
|
0,6
|
18,3
|
7,3
|
2004
|
1,2
|
2,8
|
4,5
|
0,6
|
17,4
|
7,5
|
2005
|
1,2
|
2,9
|
4,9
|
0,7
|
18,8
|
8,6
|
Laju 2002-2005 (%/th)
|
6,96
|
8,30
|
4,44
|
0,83
|
3,38
|
2,94
|
Tabel 5
Konsumsi Pangan Sumber Lemak dan Vitamin/Mineral
Menurut Wilayah (Kg/kapita/tahun)
Wilayah/
Tahun
|
Minyak goreng
|
Buah/biji berminyak
|
Sayuran
|
Buah
|
Kota+Desa
|
|
|
|
|
1999
|
7,0
|
2,7
|
40,7
|
18,5
|
2002
|
8,3
|
3,4
|
47,5
|
27,2
|
2003
|
8,0
|
3,5
|
50,7
|
29,4
|
2004
|
8,0
|
3,2
|
49,0
|
27,1
|
2005
|
8,2
|
3,4
|
50,8
|
31,7
|
Laju 2002-2005 (%/th)
|
-0,37
|
-0,89
|
1,66
|
3,88
|
Kota
|
|
|
|
|
1999
|
7,7
|
2,0
|
41,7
|
19,7
|
2002
|
8,9
|
2,6
|
49,4
|
30,0
|
2003
|
8,6
|
2,8
|
51,4
|
34,6
|
2004
|
8,7
|
2,5
|
49,3
|
30,0
|
2005
|
8,6
|
2,6
|
50,1
|
32,5
|
Laju 2002-2005 (%/th)
|
1,14
|
-1,14
|
0,00
|
0,91
|
Desa
|
|
|
|
|
1999
|
6,6
|
3,1
|
40,2
|
17,6
|
2002
|
7,8
|
4,0
|
46,3
|
25,1
|
2003
|
7,5
|
4,0
|
50,2
|
27,8
|
2004
|
7,5
|
3,7
|
48,8
|
24,9
|
2005
|
7,9
|
4,0
|
51,9
|
30,9
|
Laju 2002-2005 (%/th)
|
0,39
|
-0,76
|
3,12
|
5,34
|
Pola konsumsi Pangan Pokok
Perhitungan pola konsumsi pangan pokok didasarkan
pada proporsi energi dari masing-masing jenis pangan terhadap total konsumsi
pangan pokoknya. Dengan perhitungan seperti teresbut diperoleh pola konsumsi
pangan pokok seperti pada Tabel 6. Walaupun konsumsi beras cenderung menurun
dari tahun ke tahun, namun jumlah beras yang dikonsumsi sangat besar
dibandingkan dengan jenis pangan lainnya. Sebagai gambaran konsumsi beras pada
tahun 2005 mencapai 105,2 kg, yang berarti sekitar 31,9 kali lebih besar daripada konsumsi jagung; 12,5 kali konsumsi terigu
dan 7 kali konsumsi ubikayu. Perbedaan yang sangat mencolok ini, mengakibatkan
beras sebagai pola pangan pokok utama di berbagai wilayah dan kelompok
pendapatan.
Tabel 6
Pola Konsumsi Pangan Pokok Menurut Wilayah dan
Kelompok Pengeluaran
Golongan pengeluaran
(Rp/kap/bl)
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
Kota+Desa
|
|
|
|
|
< 60.000
|
B,J,UK
|
B,J,UK
|
B
|
B,T
|
60.000-79.999
|
B,J,UK,T
|
B,J,T,UK
|
B,T
|
B,T
|
80.000-99.999
|
B,T,UK
|
B,T,UK
|
B,T
|
B,T
|
100.000-149.999
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
150.000-199.999
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
200.000-299.999
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
300.000-499.999
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
>500.000
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
Kota
|
|
|
|
|
< 60.000
|
B,T
|
B
|
B,T
|
B,T
|
60.000-79.999
|
B,T
|
B,T,J
|
B,T
|
B,T
|
80.000-99.999
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
100.000-149.999
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
150.000-199.999
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
200.000-299.999
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
300.000-499.999
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
>500.000
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
Desa
|
|
|
|
|
< 60.000
|
B,J,UK
|
B,J,UJ
|
B,T
|
B,T
|
60.000-79.999
|
B,J,UK
|
B,J,UK,T
|
B,T
|
B,T
|
80.000-99.999
|
B,J,T,UK
|
B,T,UK
|
B,T
|
B,T
|
100.000-149.999
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
150.000-199.999
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
200.000-299.999
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
300.000-499.999
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
>500.000
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
B,T
|
Keterangan : B = Beras, T=Terigu termasuk produknya,
J=Jagung, UK=Ubikayu,
Uj=Ubijalar
Sebagian besar pola pangan pokok kedua adalah terigu termasuk berbagai jenis mi
instan (basah.kering.dll). Berkembangnya mi instan sebagai makanan utama
setelah beras didorong oleh kebijakan jaman orde baru yang meng”anak-emas”kan
terigu selain beras. Adanya kebijakan impor gandum untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri
yang berlangsung lama dan subsidi harga terigu oleh pemerintah, maka harga
terigu menjadi murah (50% lebih rendah dari harga internasional).
Selain itu adanya kampanye yang
intensif melalui berbagai jenis
media seperti media elektronik, product development yang diperluas
dengan harga yang bervariasi dan mudah diperoleh, turut mendorong peningkatan
partisipasi konsumsi produk gandum terutama berupa mi dan roti. Impor gandum
pada tahun 1997/1998 sekitar 3,7 juta
ton menjadi 4,1 juta ton tahun 2000/2001. Pada tahun 2002 nilai impor gandum
mencapai angka US$ 1,2 milyar, tertinggi untuk kelompok pangan(9).
KESIMPULAN
1.
Pemulihan ekonomi yang terjadi di Indonesia
berdampak positip pada peningkatan konsumsi pangan masyarakat baik
secara kuantitas maupun kualitas.
Walaupun demikian, konsumsi energi sampai tahun 2005 belum sesuai
anjuran (2000 Kalori/kap/hari), sebaliknya untuk konsumsi protein, sudah
melebihi dari anjuran sejak tahun 2002 (52 gram/kap/hari). Pangsa konsumsi
protein hewani terus meningkat, dan sampai tahun 2005 sekitar 25 persen.
2.
Keragaman pangan yang diukur dengan skor PPH terus meningkat, namun masih
belum seimbang sesuai dengan konsumsi harapan. Pangan dari kelompok padi-padian
dan minyak/ lemak yang melebihi konsumsi harapan, sedangkan untuk pangan hewani
dan sayuran/buah masih sekitar 50 persen dari konsumsi seharusnya.
3.
Dalam pola konsumsi pangan pokok,
terigu dan produk turunannya telah menggeser kedudukan pangan lokal
seperti umbi-umbian dan jagung. Di semua wilayah mempunyai pola pangan pokok
utama beras dan terigu menempati urutan kedua. Hanya pada kelompok
berpendapatan rendah yang masih menggunakan jagung dan umbi-umbian dalam pola
pangan pokoknya.
4.
Kebijakan pemerintah hendaknya tidak hanya terfokus pada kebijakan makro
yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
dan ketahanan pangan tingkat nasional tetapi juga memperhatikan aspek
peningkatan pendapatan seluruh masyarakat. Dengan demikian diharapkan dengan
peningkatan daya beli maka konsumsi pangan masyarakat (kuantitas dan kualitas)
akan meningkat sehingga nantinya dapat tercipta sumberdaya manusia yang
berkualitas yang mampu bersaing dalam era globalisasi. Sejalan dengan hal tersebut terus dilakukan
upaya peningkatan penyadaran masyarakat dalam mengkonsumsi pangan yang beragam,
bergizi, berimbang, aman dan halal.
5.
Dalam era reformasi dan otonomi daerah, peningkatan konsumsi pangan
masyarakat sebagai upaya peningkatan ketahanan pangan nasional dan daerah bukan
hanya tugas pemerintah pusat. Justru pemerintah daerah beserta anggota
legislatif daerah yang mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan hal tersebut
seperti juga diamanatkan dalam PP no. 68 tentang Ketahanan Pangan.
RUJUKAN
1.
Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009.
Jakarta.
2.
Nazara, S. 2006. Kependudukan Indonesia : Isu dan Kebijakan. Makalah sehari Penduduk, Pangan dan
Kemiskinan. PPK-LIPI. Jakarta. 18 September.
3.
Hermanto. 2005. Pengentasan Kemiskinan melalui pemberdayaan Masyarakat
dalam Program Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Badan Ketahanan Pangan.
Jakarta.
4.
Badan Pusat Statistik. 2004. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia
2004. BPS. Jakarta.
5.
Sudaryanto, T., I. W. Rusastra, P. Simatupang, dan M. Ariani. 2000.
Reorientasi kebijakan pembangunan tanaman
pangan pasca krisis ekonomi.
hlm.365-396. Dalam Ananto
Kusuma Seto, M. Atmowidjojo, S. M. Atmojo, Abas B. Jahari, Puguh B. Irawan dan
T. Sudaryanto. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI. Jakarta.
6.
Pambudy,R; T.E.Hari Basuki dan Mardianto,S. 2002. Resume Pertemuan Kebijakan Perberasan Asia.
Hasil pertemuan Regional di Bangkok, Thailand. Oktober. Sekretariat Dewan
Ketahanan Pangan. Jakarta.
7.
Yudohusodo,S. 2006. Abad Pertarungan Talenta. Kompas, 27 Januari, hal. 4.
Jakarta.
8.
Irawan,B; H.Tarigan; B.Wiryono; J.Hestina dan Ashari. Kinerja pembangunan
Komoditas Hortikultura 2006 dan Prospek 2007. Makalah pada seminar Nasional
Kinerja Pembangunan Pertanian 2006 dan prospek 2007. Jakarta. 20 November.
9.
Sawit, M.H. 2003. Kebijakan gandum/terigu: harus mampu menumbuhkembangkan
industri pangan dalam negeri. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 1 (2):
100-109. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
jurnal ini diperoleh dari https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja&ved=0CH8QFjAI&url=http%3A%2F%2Fwww.persagi.org%2Fdocument%2Fmakalah%2F114_makalah.doc&ei=683WULOZAsKPrgfVlIHQAg&usg=AFQjCNHjwfaSik1WnA72yhjnD-kBhYnCiA&sig2=4mRfstxf2vOJae6d8YK4sw&bvm=bv.1355534169,d.bmk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar